Minggu, 18 Maret 2012

hukum perburuhan

Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan. Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja.

Dalam beberapa tahun setelah terbitnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih mengalami berbagai kelemahan; terutama hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Namun demikian, pada dasarnya praktek outsourcing tidak dapat dihindari oleh pengusaha apalagi oleh pekerja. Hal tersebut dikarenakan pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendapat legalisasi memberlakukan praktek outsourcing tanpa mengindahkan hal-hal yang dilarang oleh undang-undang.

Persoalan hukum dalam pelaksanaan outsourcing antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan oleh para pihak. Pada praktek outsourcing, terdapat tiga pihak yang berhubungan hukum yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan penerima kerja dan pekerja outsourcing itu sendiri. Kepentingan ketiga pihak dalam outsourcing tersebut berbeda-beda. Pemberi kerja mengharapkan kualitas barang atau jasa yang tinggi dengan harga yang serendah-rendahnya. Sedangkan penerima pekerjaan mengharapkan kualitas barang atau jasa yang terendah dengan harga yang tertinggi. Pada sisi lain, pengusaha mengharapkan pekerja agar melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan produksi yang maksimal, sebaliknya pekerja mengharapkan kerja yang ringan dengan penghasilan atau upah yang tinggi.

Pemahaman mengenai pekerja outsourcing sebenarnya mulai terbit sejak diaturnya masalah outsourcing dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan walaupun di dalam undang-undang tersebut tidak pernah disebutkan mengenai istilah outsourcing. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis. Ketentuan tersebut merupakan pilihan bebas sehingga sebenarnya penggunaan pekerja outsourcing tergantung kepada pengusaha. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Akan tetapi tidak semua pekerjaan dapat diserahkan untuk dikerjakan oleh perusahaan lainnya, melainkan harus memenuhi syarat-syarat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Sedangkan syarat lain yang harus dipenuhi adalah perusahaan pemborong harus berbadan hukum serta perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan tersebut harus sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan pengawasan atas pemenuhan syarat-syarat outsourcing sangat sulit dilakukan, oleh karena itu banyak pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi. Pelanggaran yang banyak terjadi adalah rendahnya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja terhadap pekerja. Perlindungan dan syarat-syarat kerja yang diberikan pengusaha kepada pekerja umumnya di bawah standar yang berlaku di mana pekerja dipekerjakan. Meskipun realisasi hubungan kerja dibuat secara tertulis antara perusahaan outsourcing dengan pekerja akan tetapi perusahaan pengerah jasa tenaga kerja mendapatkan keuntungan melalui pemotongan sebagian hak yang diterima pekerja pada perusahaan di mana pekerja ditempatkan.

Adanya pro kontra terhadap pengaturan outsourcing di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menyurutkan pembentuk undang-undang untuk mengatur mengenai masalah outsourcing. Hal tersebut dikarenakan sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih banyak terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja. Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing tetap tidak menghentikan masalah pekerja outsourcing, bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.

Kritik tajam terhadap pemberlakuan outsourcing dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga tercermin dari pasal-pasal yang mengaturnya. Pada Pasal 64 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dan perjanjian penyedia jasa buruh. Selain itu diatur bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 65 Ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) harus memenuhi syarat bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketentuan dalam pasal ini telah menimbulkan kritik karena bagaimana mungkin perusahaan yang telah menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada orang lain masih memiliki kewenangan untuk memberikan perintah langsung atau tidak langsung terhadap pelaksanaan pekerjaan yang telah diborongkan kepada perusahaan lain. Dalam hal ini terhadap inkonsistensi antara Pasal 64 dan Pasal 65 Ayat (1) sub b Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Sebab hal tersebut akhirnya menimbulkan konsekuensi hukum bahwa perusahaan yang memborongkan pekerjaan dengan pekerja pelaksana pekerjaan terhadap hubungan kerja. Sebaliknya antara pekerja dengan perusahaan yang memborongkan pekerjaan tidak terdapat hubungan kerja.

Mengenai perjanjian penyedia jasa buruh pada Pasal 66 Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja dari perusahaan penyedia jasa tidak boleh digunakan oleh perusahaan pengguna untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kalimat pertama pasal tersebut memberikan pemahaman seakan-akan antara perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dengan perusahaan pemberi kerja terjadi perjanjian sewa menyewa buruh. Hal tersebut yang menyebabkan kemudian memicu pertentangan oleh elemen masyarakat sebagai salah satu bentuk praktek perbudakan modern.

Meskipun dianggap sebagai timbulnya praktek perbudakan modern di Indonesia, hampir disemua sektor pekerjaan melibatkan pekerja outsourcing. Banyak perkara juga diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial mengenai tuntutan pekerja outsourcing yang diputus hubungan kerjanya secara sepihak untuk mendapatkan kompensasi pemutusan hubungan kerja dari perusahaan pengguna atau bahkan agar dapat dipekerjakan pada perusahaan pengguna sebagai pekerja di perusahaan tersebut.

Pekerja Kontrak dan Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing

Masalah-masalah mengenai pelaksanaan outsourcing sebenarnya dalam penerapannya banyak terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan bidang hukum ketenagakerjaan. Bidang hukum ketenagakerjaan berlaku untuk mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja pada saat mereka sepakat untuk melakukan suatu pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan fungsi Hukum Perdata terutama menata hubungan antara perusahaan dengan perusahaan dalam perjanjian kerja sama. Oleh karena perjanjian kerja yang bersifat waktu tertentu (PKWT) antara pemberi kerja dengan penerima kerja pada umumnya dibatasi masa berlakunya, maka tidak ada kepastian kesinambungan dalam pekerjaan sehingga pekerja merasa terancam. Persoalan yang muncul adalah bahwa setelah pekerjaan yang diperjanjikan selesai, maka otomatis para pekerja akan berhenti bekerja. Oleh karena itu untuk menghindar dari kewajiban membayar gaji kepada pekerja dalam hal tidak ada pekerjaan bagi pekerja, pengusaha mensyaratkan kontrak kerja. Pada pelaksanaannya kontrak kerja dapat berlangsung secara bertahun-tahun dan walaupun hal tersebut bertentangan dengan undang-undang, pengusaha menempuh jalan pekerja yang selesai masa kontraknya diistirahatkan dulu selama beberapa bulan, kemudian masuk kembali ke perusahaan yang sama dengan status sebagai pekerja baru dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Pekerja dalam hal ini tidak dapat menentukan penawaran dan mengajukan persyaratan kepada pengusaha oleh karena sempitnya lapangan kerja yang tersedia. Pengusaha dengan mudah dapat menolak pekerja outsourcing yang menuntut haknya terlalu banyak oleh karena masih banyak pelamar lain yang bersedia bekerja dengan syarat-syarat yang memberatkan pekerja yang ditetapkan oleh pengusaha.

Rendahnya Hak-hak Pekerja Outsourcing

Pada kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan ditandatangani oleh pekerja dengan perusahaan pemberi kerja, akan tetapi antara perusahaan pengguna dengan perusahaan pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan hak-hak pekerja outsourcing lainnya hanya diperjanjikan di antara kedua perusahaan tersebut tanpa diketahui oleh pekerja. Oleh karena bisnis perusahaan penerima pekerjaan adalah dengan mempekerjakan pekerja untuk kepentingan perusahaan lain, maka dari jasa tersebut perusahaan pemberi kerja memperoleh keuntungan. Keuntungan perusahaan penyedia jasa tersebut diperoleh dari selisih antara upah yang diberikan perusahaan pengguna dengan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja outsourcing. Oleh karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing biasanya sangat kecil dan paling tinggi hanya untuk memenuhi ketentuan upah minimum. Berdasarkan hal tersebut pula, maka banyak perusahaan penyedia jasa yang semakin kaya raya dan para pekerja tetap hidup dengan upah di bawah standar atau maksimal dengan upah sesuai dengan ketentuan mengenai upah minimum. Beberapa kasus menggambarkan hal tersebut seperti kasus petugas kebersihan atau cleaning service dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya menerima upah antara Rp 460.000,- sampai Rp 700.000,- perbulan yang jauh lebih rendah dari upah minimum provinsi DKI tahun 2006 yang mencapai Rp 819.000,- perbulan untuk pekerja lajang. Para pekerja outsourcing dalam hal upah ini tidak dapat berbuat banyak untuk menuntut pengusaha. Sebab pada satu sisi upah yang diberikan telah memenuhi ketentuan mengenai upah minimum, akan tetapi di sisi lain pengusaha tidak akan menerima tuntutan pekerja outsourcing untuk disamakan kedudukannya dalam menerima upah dengan pekerja yang lain, karena status dan kedudukannya hanya tergantung kepada perusahaan pemberi kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar