Minggu, 22 Mei 2011

pengertian wirausaha

Pengertian Dasar Wirausaha

Wiraswastawan sejati selalu berani memikul banyak tanggung jawab, sebab tak ada kehidupan berharga yang
tidak mengandung kesulitan dan tantangan.
Dewasa ini, dunia wirausaha (kewiraswastaan) tampaknya sudah mulai diminati oleh masyarakat
luas. Namun, karena kurangnya informasi, banyak orang merasa masih belum jelas tentang aspekaspek
apa saja yang melingkupi dunia wiraswasta. Sebagian orang beranggapan bahwa
kewiraswastaan adalah dunianya kaum pengusaha besar dan mapan, lingkungannya para direktur
dan pemilik PT, CV serta berbagai bentuk perusahaan lainnya. Oleh karena itu, kewirawastaan
sering dianggap sebagai wacana tentang bagaimana menjadi kaya. Sedang kekayaan itu sendiri
seakan-akan merupakan simbol keberhasilan dari kewiraswastaan.
Bukan hanya sebagian masyarakat awam yang berpikir demikian, karena ternyata beberapa
lembaga pembinaan kewiraswastaan juga mempunyai persepsi yang mirip dengan itu. Pada
beberapa kesempatan, lembaga-lembaga tersebut menampilkan figur tokoh-tokoh sukses yang
katanya berhasil menjadi kaya, dengan jalan berwiraswasta. Figur sukses itu antara lain terdiri dari
tokoh-tokoh pengusaha besar yang masyarakat mengenalnya sebagai orang-orang terkemuka yang
dekat dengan para pejabat pemerintahan.
Terlepas dari siapa tokoh-tokoh sukses dan kaya yang ditampilkan itu, serta bagaimana cara
mendapatkan kekayaannya, marilah kita kembali ke inti persoalan : "Benarkah kewiraswastaan
merupakan wacana tentang bagaimana caranya untuk menjadi kaya ?"
Kalau bicara sekadar menjadi kaya, tentu semua orang maklum bahwa tidak semua orang kaya
adalah pengusaha, sebaliknya tidak semua pengusaha adalah orang kaya. Rata-rata pejabat di
Indonesia sudah termasuk orang kaya atau orang berada, apalagi kalau pejabat itu korup.
Karyawan-karyawan swasta, terutama para manager dan direktur juga banyak yang kaya. Bahkan,
ada pengemis jalanan berpenghasilan lebih dari Rp. 300.000,- bersih per hari, dan jelas bahwa ia
berpotensi untuk menjadi kaya. Dapatkah mereka semua, termasuk para koruptor dan pengemis,
menjadi figur panutan dalam wacana kewiraswastaan ? Rasanya tidak!
Kewiraswastaan atau kewirausahaan sebenarnya bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya.
VISI DAN GAGASAN WIRAUSAHA _________________________________________________________
Setidaknya inilah yang dekemukakan oleh para perintis kewiraswastaan di Indonesia sejak 3
dekade yang lalu. Merintis masa depan dengan belajar menjadi pengusaha lebih mirip dengan
belajar bagaimana mengemudikan kendaraan. Seorang instruktur pada sebuah sekolah
mengemudi mobil pernah berkata pada para siswanya, yang dalam praktek selalu berusaha untuk
menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi : "Keterampilan mengemudi bukan dilihat dari
seberapa cepat kendaraan dipacu. Karena memacu kecepatan adalah hal yang mudah. Itu hanya
soal seberapa dalam kita menginjak pedal gas. Ilmu mengemudi lebih merupakan keterampilan
bagaimana menjalankan mobil dari keadaan tidak bergerak, menjadi bergerak dan berjalan dengan
stabil, serta bermanuver dengan baik sesuai keadaan, berbelok, maju, mundur, parkir, menanjak,
menurun dan lain sebagainya, tanpa membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Kecepatan
adalah soal lain.."
Apa yang dikatakan sang instruktur memang benar. Keberhasilan mengemudi bukan dilihat dari
seberapa cepat kendaraan dipacu. Demikian pun keadaannya dengan kewiraswastaan.
Keberhasilan berwiraswasta tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan
uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan bisa diperoleh dengan berbagai cara,
termasuk mencuri, merampok, korupsi, melacur dan lain-lain perbuatan negatif. Sebaliknya
kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk, mendirikan serta
menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak berbentuk, tidak berjalan bahkan mungkin
tidak ada sama sekali. Seberapa kecil pun ukuran suatu usaha, jika dimulai dengan niat baik, caracara
yang bersih, keberanian dan kemandirian, sejak dari nol dan kemudian bisa berjalan dengan
baik, maka nilai kewiraswastaannya jelas lebih berharga, daripada sebuah perusahaan besar yang
dimulai dengan bergelimang fasilitas, penuh kolusi serta sarat dengan keculasan.
Dalam kewiraswastaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia hanya merupakan produk bawaan
(by-product) dari sebuah usaha yang berorientasi kearah prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin
mengaktualisasikan diri dalam suatu kehidupan mandiri. Ada pengusaha yang sudah amat sukses
dan kaya, tapi tidak pernah menampilkan diri sebagai orang yang hidup bermewah-mewah, dan
ada juga orang yang sebenarnya belum bisa dikatakan kaya, namun berpenampilan begitu glamor
dengan pakaian dan perhiasan yang amat mencolok. Maka soal kekayaan pada akhirnya terpulang
kepada masing-masing individu. Keadaan kaya-miskin, sukses-gagal, naik dan jatuh merupakan
keadaan yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seorang pengusaha, tidak peduli betapapun
piawainya dia. Kewiraswastaan hanya menggariskan bahwa seorang wiraswastawan yang baik
adalah sosok pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak berputus asa pada saat
jatuh.
Tidak ada satu suku kata pun dari kata "wiraswasta" yang menunjukkan arti kearah pengejaran
uang dan harta benda, tidak pula kata wiraswasta itu menunjuk pada salah satu strata, kasta,
tingkatan sosial, golongan ataupun kelompok elit tertentu.
Terkadang orang tidak menyadari bahwa "wiraswasta" tidak sama dengan "swasta" dan "orang
swasta" tidak dengan sendirinya merupakan wiraswastawan sejati, meskipun mungkin yang
bersangkutan menyatakan diri begitu.. Ini disebabkan "wiraswasta" mengandung kata "wira",
yang mempunyai makna luhurnya budi pekerti, teladan, memiliki karakter yang baik, berjiwa
kstaria dan patriotik. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seorang wiraswastawan sejati selalu
memegang etika sebaik-baiknya dalam berbisnis.
Orang swasta yang berhasil mengumpulkan harta berlimpah, tidak dapat dikatakan sebagai
wiraswastawan sejati, selama harta yang dikumpulkannya itu didapat dengan jalan yang tidak
benar seperti kolusi, memeras, menipu, merampok dan lain-lain aktivitas sejenis.
Saya menemukan bahwa kadang-kadang terjadi salah pengertian tentang istilah "kewiraswastaan"
yang merupakan terjemahan dari kata asing "entrepreneurship". Ada pendapat bahwa
kewiraswastaan tidak hanya terjadi dikalangan orang atau perusahaan swasta saja, tetapi juga ada
VISI DAN GAGASAN WIRAUSAHA __________________________________________________________
dilingkungan perkoperasian, lingkungan pendidikan bahkan dilingkungan badan-badan usaha
milik pemerintah (BUMN). Oleh karenanya, "entrepreneurship" bukan monopoli kelompok
perusahaan swasta saja. Maka kemudian timbul istilah "wirausaha" yang dianggap lebih universal
dalam penerapannya. Gejala ini berlanjut lebih spesifik lagi dengan munculnya istilah "kewira
koperasian" untuk para aktivis koperasi.
Saya berpendapat, istilah "wiraswasta" tidak hanya menunjuk kepada orang-orang dari kalangan
perusahaan swasta. Sebagai istilah yang mewakili kata "entrepreneurship", penggunaannnya sudah
sangat universal, sehingga sebetulnya tidak perlu lagi direvisi. Secara etimologi, sebagaimana
dijelaskan oleh Dr. Suparman Sumahamidjaya, arti kata wiraswasta bisa diuraikan lebih kurang
sebagai berikut :
wira = luhur, berani, ksatria.
swa = sendiri.
sta = berdiri.
Jadi, maksud dari kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan berusaha yang mandiri
dengan landasan keyakinan dan watak yang luhur. Lebih spesifiknya, kaum wiraswastawan sejati
adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri,
mencari nafkah dan berkarir dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang
jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat keserakahan dan kecurangan.
Definisi di atas tidak membatasi bahwa wiraswastawan harus seorang yang menjalankan
perusahaan milik sendiri. Dengan demikian kewiraswastaan berlaku dilingkungan manapun,
termasuk koperasi, BUMN, pengusaha kaki lima, makelar bahkan dilingkungan karyawan
sekalipun. Sebab apa? Karena kaum profesional yang status formalnya adalah seorang karyawan,
pada hakikatnya merupakan seorang wiraswastawan juga, karena mereka bekerja dengan menjual
"leadership", atas dasar kemitraan bisnis yang adil dan saling menguntungkan, dan bukan atas dasar
keinginan untuk "menumpang hidup" semata. Para distributor dari sebuah perusahaan multi-levelmarketing,
sebagaimana agen-agen asuransi, juga merupakan pribadi-pribadi yang berusaha secara
mandiri dan mereka berwiraswasta. Beberapa perusahaan yang telah maju ternyata juga didirikan
oleh para mantan karyawan yang memiliki naluri kewiraswastaan. Hal ini menguatkan bukti
bahwa kewiraswastaan memang ada dimana-mana. Hanya saja, kewiraswastaan ada yang
kelihatan secara jelas, ada yang tersembunyi.
Betapa pun saya menyambut baik munculnya berbagai istilah alternatif, karena hal tersebut
dengan sendirinya akan memperkaya khasanah kosakata bahasa Indonesia yang masih
memerlukan pembinaan-pembinaan lebih jauh. Sebab itu, dalam buku ini akan dipergunakan
istilah "wiraswasta" dan "wirausaha" secara silih berganti, agar tidak menimbulkan kejenuhan.
Beberapa aktivitas yang memiliki kandungan nilai kewirausahaan, baik yang jelas maupun yang
tersembunyi bisa dicontohkan sebagai berikut :
1). Pengusaha-pengusaha "kantoran" yang menjalankan perusahaan milik sendiri atau
bermitra. Baik dari kelas pengusaha besar, menengah ataupun kecil.
2). Pengusaha-pengusaha seperti pedagang kaki lima, warung nasi, restoran, toko
klontong, bengkel, salon dan lain-lain.
3). Pengusaha candak kulak, seperti bakul jamu, tukang bakso pikul/grobak, dan lain
sebagaiya.
4). Pengurus dan anggota-anggota koperasi.
5). Tokoh-tokoh pemasaran, seperti para direktur dan manajer pemasaran, sales
representative, business representative, salesmen/girl door to door.
6). Para distributor multi-level-marketing serta para agen asuransi.
7). Tokoh-tokoh profesi seperti dokter, pengacara, notaris, konsultan sampai supir
VISI DAN GAGASAN WIRAUSAHA _________________________________________________________
taksi.
8). Mereka yang menjalankan bisnis sambilan, tanpa melecehkan pekerjaan utamanya
sebagai karyawan.
9). Para karyawan, yang sambil bekerja, berusaha belajar untuk mempersiapkan diri
menjadi pengusaha nantinya.
10). Para makelar yang jujur.
11). Kaum profesional yang menjual leadership pada perusahaan-perusahaan besar mulai
dari yang menjabat sebagai presiden direktur, direktur atau manajer, sampai kepada
staf pelaksana.
12). Dan lain-lain.
Dalam buku ini, rekomendasi diberikan atas bidang-bidang yang berkaitan dengan sektor
produksi. Sebaliknya, penulis tidak terlalu menganjurkan keikut sertaan pembaca dalam sektor
finansial yang penuh muatan spekulasi seperti bisnis valuta asing, bursa saham dan juga bursa
komoditi. Ini dengan pertimbangan bahwa Indonesia masih amat memerlukan sektor produksi
yang kuat, dan seyogyanya pengusaha kecil lebih berkonsentrasi pada aktivitas-aktivitas kekaryaan
yang riil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar